Rabu, 13 Agustus 2014

Persepsi / Tanggapan Masyarakat Tentang Ganguan Jiwa

Dikalangan masyarakat, pemahaman tentang masalah kesehatan jiwa masih rendah. Gangguan jiwa masih diidentikkan dengan psikotik seperti skizofrenia atau bahasa awamnya “gila,” padahal variasi gangguan jiwa sangat luas (Atikawulanjani, Sinarharapan. 2005).

Menurut Dr. Dengara Pane dalam Pikiran Rakyat yang berjudul “30% Warga Jabar Punya Masalah Jiwa”, menyatakan bahwa: jika dilihat dalam tingkatannya, gangguan kesehatan jiwa ada 100 jenis. Mulai dari yang teringan hingga yang terberat. Hanya beberapa gangguan jiwa berat saja yang disebut gila (Mr, Pikiranrakyat, 2002). Sementara dimasyarakat, hingga saat ini masih berkembang stigma yang berdampak buruk terhadap nasib penderita gangguan jiwa itu sendiri maupun orang-orang yang teralibat dan dekat dengan mereka. Stigma itu umumnya masih menganggap bahwa mereka yang berhubungan dengan rumah sakit jiwa, dokter jiwa dan perawat jiwa, itu dianggap orang gila. Akibatnya mereka malu. Padahal, yang namanya gangguan jiwa ada 100 jenis dan yang disebut gila oleh masyarakat itu hanya beberapa saja (Mr, Pikiranrakyat, 2002).

Menyinggung faktor penyebabnya, menurut Dengara, sangat kompleks. Bisa biologis, psikologis, sosial budaya, spiritual. Akan tetapi belakangan ini telah terjadi pergeseran alasan. Dulu pengidap gangguan kesehatan jiwa terjadi karena faktor perceraian, hubungan buruk dengan tetangga, putus pacar, dan stress. Sekarang faktor ekonomi yang menjadi penyebab utama (Mr, Pikiranrakyat, 2002).

Masyarakat masih juga percaya bahwa gangguan jiwa masih disebabkan oleh hal-hal yang sifatnya mistis dan magis. Ada kalanya juga masih dianggap sebagai kutukan, buah kejahatan, karma, atau karena melanggar tabu (Mr. Pikiranrakyat, 2002).

Menyinggung soal pengobatan dan perawatannya yang berkembang dimasyarakat bahwa walaupun dirawat dan diobati sebaik apapun, masyarakat menganggap penyakit ini tidak bisa disembuhkan. Padahal penyakit ini dapat sembuh apabila dilakukan perawatan secara intensiv dan berkelanjutan, individu yang mengidap penyakit ini masih dapat bekerja dan eksis di masyarakat (Mr, Pikiranrakyat, 2002).

Pemahaman Fenomena “orang gila”, memunculkan tanggung jawab kita selaku anggota masyarakat yang seharusnya peduli akan keberadaan dan kebutuhan mereka. Pada prinsipnya mereka sama seperti orang waras yang mempunyai kebutuhan untuk diakui dan diperlakukan secara baik. Walaupun yang tampak adalah mereka hidup di dunia sendiri dan lebih sering menyendiri, karena itu perlu kerja sama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah (Teguh, Balipost, 2003).

Dukungan pemerintah dalam hal ini bukan hanya menyediakan fasilitas perawatan dan pengadaan obat-obatan saja, namun lebih lanjut mempertimbangkan pengalokasian dana untuk meningkatkan mutu pendidikan kesehatan terutama di bidang perawatan jiwa, sehingga melahirkan tenaga-tenaga kesehatan jiwa yang professional (Widya, Kompas, 2003).

Dengan lahirnya perawat jiwa yang professional diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memberi pandangan terhadap gangguan jiwa. Selama ini gangguan jiwa menurut anggapan mereka masih diidentikkan sama dengan Psikotik.

Anggapan berbagai kelompok yang ada di masyarakat tentang gangguan jiwa bermacam-macam atau beraneka ragam, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah kebudayaannya (Susilohati, 1994 : Jurnal Rehabilitasi dan Remediasi). 

Anggapan yang beraneka ragam dari berbagai kelompok ini ada yang mempunyai pendapat yang sama dengan teori yang telah ada. Misalkan saja pengertian gangguan jiwa yang berkembang saat ini, sebagian masyarakat berpendapat adanya kelainan yang terjadi di dalam jiwa seseorang atau yang berkaitan dengan stress (Susilohati, 1994 : Jurnal Rehabilitasi dan Remediasi). 

Dalam penelitiannya yang disampaikan dalam Jurnal Rehabilitasi dan Remediasi tentang “Pemahaman Masyarakat Tentang Gangguan Jiwa”, menyimpulkan bahwa masyarakat berpendapat gangguan jiwa adalah sindroma / pola prilaku / psikologik seseorang yang secara klinik cukup bermakna dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala penyelewengan dari fisiologis / distress, atau hendaya dalam satu atau lebih fungsi dari manusia. Yaitu tergambar dari prilaku psikologik dan atau biologik, tidak hanya tergambar dari hubungan antara orang itu dengan masyarakat saja (Susilohati, 1994 : Jurnal Rehabilitasi dan Remediasi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar