Minggu, 10 Agustus 2014

Jiwa yang Sehat

Kesehatan jiwa adalah terhindarnya seseorang dari gejala ganggun jiwa (neurose) dan dari gejala penyakit jiwa (psichose).

Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat, serta lingkungan tempat ia tinggal.






Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta memiliki kesanggupan untuk menghadapi problema-problema yang biasa terjadi serta terhindar dari kegelishan dan pertentangan (konflik).






Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat, dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin sehingga membawa pada kebahagiaan diri dan orang lain serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa.






Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya berlandaskan pada keimanan dan ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan di akhirat. (Zakiah Daradjat, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta)






Jiwa yang sehat adalah jiwa yang penuh kejujuran pada dirinya dan orang lain, memiliki keberanian untuk mengungkapkan kebenaran, tuntas dan sungguh-sungguh dalam menunaikan kewajibannya, dapat mengetahui siapa dan apa yang ia inginkan dan sukai, mengetahui apa yang terbaik baginya, serta menerima itu semua tanpa berusaha untuk mengaburkan kenyataan. (Abraham Maslow)

Bertafakur di RS Jiwa

Syaikh Al-Arifi ‘Masuk’ Rumah Sakit Jiwa

Aku sedang pergi ke sebuah negeri untuk memberi sebuah tausiyah. Aku memberi 2 materi tausiyah di pagi hari. Kemudian setelah dhuhur aku berjalan-jalan keluar. Waktu itu aku bersama Abdul Aziz, seorang pendakwah yang juga sudah sering melanglang buana.

Aku bersamanya dalam sebuah mobil. Aku katakan kepadanya, “Abdul Aziz.. Di sana ada sebuah tempat sangat ingin aku kunjungi, mumpung waktunya masih longgar.” Ia berkata, “Tempat manakah itu?” Aku jawab, “Rumah sakit yang mengurusi masalah kejiwaan.” “Tempat orang gila?” tanyanya. aku jawab, “Iya, tempat orang gila.”

Dia pun ketawa, sambil bercanda dia bertanya, “Kenapa, apakah engkau akan memastikan akalmu masih utuh?” Aku katakan, “Enggak seperti itu lah, kita akan ambil manfaat di dalamnya, kita ambil hikmah pelajaran supaya kita mengetahui besarnya nikmat yang telah diberikan Allah.”


Setelah beberapa saat akhirnya kita sampai di sebuah bangunan berlorong. Pohon-pohon tampak berjajar rapi di luarnya. Dari bangunan itu terpancar aura suram dan kesedihan. Kita pun menemui seorang dokter di sana.


Dokter itu tampak senang melihat kehadiran kita. Lalu ia mengambil sepeda kayuh yang bisa dinaiki beberapa orang di rumah sakit itu. Si dokter berkata kepada kita mengawali percakapan, “Kabar yang beredar tidaklah sesuai dengan realita.”


Kita melalui sebuah jalan di rumah sakit tersebut. Aku mendengar suara-suara di sana dan di sini. Di sisi kanan dan kiri jalan tersebut terdapat kamar-kamar tempat pasien dirawat.


Kita berjalan di bagian kamar sebelah kanan. Aku melihat ada lebih dari sepuluh kamar yang kosong kecuali satu. Di dalamnya ada seorang lelaki yang tiarap namun tangan dan kakinya terus bergerak. Aku bertanya kepada dokter, “Siapa orang ini?” Ia berkata, “Dia orang gila. Bencana besar dan menakutkan telah menimpanya. Ia berkelakuan seperti itu setiap 5 atau 6 jam sekali.” Aku berkata, “Tiada daya dan upaya kecuali Allah.”


“Sejak kapan ia berkelakuan seperti itu?” tanyaku. Dokter berkata, “Sejak 10 tahun terakhir ini.” “Dari sini aku bisa mengambil pelajaran dalam diriku. Aku diam sejenak.” kataku dalam hati. Setelah beberapa saat kita kembali berjalan ke kamar yang lain.


Kita sampai di sebuah kamar yang pintunya terkunci. Di sela-sela pintu ada bagian yang terbuka dan terlihat seorang lelaki di dalamnya. Dia menunjuk kepada kita dengan isyarat-isyarat yang tidak dapat dimengerti. Aku berusaha untuk lebih melihat ke dalam ruangan tersebut. Ternyata tembok dan dindingnya berwarna coklat.


Aku bertanya kepada dokter, “Siapakah orang ini?” Ia menjawab, “Dia orang gila.” Si dokter terlihat meremehkan pertanyaan yang aku ajukan. Lalu akupun berkata, “Iya dok, aku tahu kalau dia itu orang gila. Kalau dia sehat, tidak mungkin ia berada di sini. Tapi, bagaimana dia kok bisa jadi gila.”


“Orang ini ketika melihat tembok ingin segera memukul dengan tangannya, kadangkala juga dengan kakinya, bahkan kadang dengan kepalanya.” terang dokter. “Suatu hari jari-jarinya patah. Di hari yang lain kakinya juga patah. Di hari lain kepalanya bercucuran darah. Kami tidak sanggup lagi mengobatinya. Kami pun mengurungnya di sebuah ruangan sebagaimana engkau lihat… tembok dan lantaimya terselubung spon coklat. Dia bisa memukul-mukul ke manapun ia mau”lanjutnya.


Kemudian si dokter diam dan berjalan di depan kita. Adapun aku dan kawanku Abdul Aziz tetap berdiri dan melanjutkan di belakangnya. Segala puji bagi Allah yang memberi maaf kepada kita dari apa-apa yang menimpanya. Lalu kita melanjutkan berjalan-jalan diantara kamar-kamar orang yang sakit.


Kita sampai di sebuah kamar yang tidak ada sebuah keluarga yang menjenguk. Tampak di dalamnya lebih dari 30 orang. Diantara mereka ada yang sedang adzan, bernyanyi, geleng-geleng kepala, menari-nari, berbeda-beda kondisi satu dengan yang lainnya. Ada 3 orang yang duduk di atas kursi-kursi. Tangan-tangan dan kaki-kaki mereka terikat. Mereka berpaling dari orang-orang di sekitarnya. Mereka ingin berpindah dari tempatnya namun tidak bisa.


Aku takjub dan bertanya kepada dokter, “Siapakah mereka dok, kenapa yang lain bisa bebas sedangkan mereka diikat?” Dokter berkata, “Mereka itu jika melihat sesuatu di depannya langsung akan dimusuhi. Mereka suka memecahkan jendela-jendela, AC, dan pintu-pintu. Maka dari itu kami mengikat mereka dari pagi hingga sore.”


Aku berkata, “Sejak kapan mereka seperti ini?” Dokter berkata, “Ini sejak 10 tahun lalu, yang ini sejak 7 tahun lalu, dan yang ini baru saja sekitar 5 tahun lalu.” Aku pun keluar dari kamar itu sambil berfikir tentang kondisi mereka. “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku atas kondisi yang menimpa mereka.” batinku dalam hati.


Aku bertanya kepada dokter, “Di mana pintu keluar rumah sakit dok?” “Tunggu dulu!” cegah dokter. “Masih ada beberapa yang belum engkau lihat.” lanjutnya. “Aku berkata, “Cukup sudah apa yang kita lihat.” Si dokter berjalan menyusuri kamar-kamar dan kami berdua diam di sampingnya mengikuti.


Dokter itu tiba-tiba melihat ke arahku dan seolah-olah ingin mengingatkanku tentang sesuatu yang ia lupakan. Dia berkata, “Wahai syaikh.. Di sini ada salah satu bos pedagang. Punya harta ratusan juta. Tapi dia menjadi gila. Anak-anaknya mendatanginya dan bertemu dengannya di sini sejak 2 tahun terakhir ini.”


“Di sini juga ada seorang insinyur di sebuah perindustrian. Di sini juga ada seorang yang…” lanjut si dokter yang terus memberi keterangan. Ada dari mereka yang gila, padahal sebelumnya dari kalangan terhormat. Ada juga dari mereka yang menjadi sakit, padahal dulunya seorang yang kaya raya.


Aku pun berjalan diantara kamar-kamar rumah sakit sambil berfikir. Maha suci Allah yang telah memberi rezeki diantara hamba-hambanya. Memberi yang Ia kehendaki dan menahan yang Ia kehendaki. Seorang lelaki telah diberikan harta, derajat, nasab, dan bagian yang banyak. Namun, akalnya diambil. Engkau mendapati seorang yang banyak hartanya, kuat badannya, akan tetapi gila dan berada di rumah sakit jiwa.


Di tempat lain ada seseorang yang diberikan kedudukan yang tinggi, harta yang mencukupi, akal yang baik. Namun, dicabut darinya kesehatan. Engkau dapati ia hanya terbaring di kasurnya 20 hingga 30 tahun. Harta dan kecukupannya tidak bisa membuatnya kaya.


Dari manusia ada yang diberikan Allah kesehatan, kekuatan, dan akal. Namun dihalangi dari banyaknya harta. Engkau terkadang melihatnya memanggul barang berat di pasar atau berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang hampir-hampir tidak punya tempat naungan yang tetap.


Dari manusia ada yang diberi oleh Allah dan ada yang ditahan dari pemberian. Rabbmu menciptakan dan memilih sesuai kehendak-Nya. Ketika sudah dikehendaki maka sudah tidak ada pilihan lagi.


Ketahuilah setiap yang diuji hendaknya mengetahui petunjuk Allah di sebelum berfikir terhadap musibah yang menimpanya. Ketika engkau ditahan dari mendapatkan harta, sungguh Allah telah memberimu kesehatan. Ketika engkau ditahan dari sesuatu hal, Ia memberimu hal-hal yang lain.


Sebuah akal… Bisa saja hilang darimu… Maka sungguh Allah telah memberi cahaya Islam. Untuk menyenangkanmu agar engkau hidup dengannya dan mati karenanya. Maka katakanlah dengan sepenuh hati dan suara yang lantang: ALHAMDULILLAH


Penejemah: Rudy, 2 hari lalu


Sumber: www.ashfa.com

- See more at: http://www.nahimunkar.com/syaikh-al-arifi-masuk-rumah-sakit-jiwa/#sthash.vQdA9m3p.dpuf