Kamis, 21 Agustus 2014

Akibat dari Stres Kerja

Akibat dari stres banyak dan bermacam-macam. Ada sebagian positif seperti meningkatkan motivasi, terangsang untuk bekerja lebih giat lagi, atau mendapatkan isnpirasi untuk hidup lebih baik lagi. Tetapi banyak diantaranya yang merusak dan berbahaya. T.Cox (1975:92) telah mengidentifikasikan efek dari stres yang mungkin muncul, yaitu :

a. Dampak subyektif (Subjective effects)

Meliputi kecemasan, agresi, apatis, kebosanan, depresi, kelelahan, frustasi, kehilangan kesabaran, merasa kesepian, penghargaan diri yang rendah, kegelisahan.

b. Dapak perilaku (Behavioral effects)

Kecenderungan mengalami kecelakaan, alkoholisme, penggunaan obat-obatan, emosi yang tiba-tiba meledak, makan berlebihan, merokok secara berlebihan, tidak dapat beristirahat, gemetar dan menampilkan tingkah laku impulsif.

c. Dampak kognitif (Cognitive effects)

Ketidakmampuan mengambil keputusan yang jelas, konsentrasi buruk, rentang perhatian yang pendek, sangat sensitif terhadap kritik, dan kemerosotan mental.

d. Dampak fisiologi (Physiological effects)

Ditandai oleh peningkatan kadar gula darah, peningkatan detak jantung dan tekanan darah, kekeringan pada mulut, kerap berkeringat, pembesaran pupil mata dan tubuh panas dingin.

e. Dampak kesehatan (Health effects)

Asma, sakit kepala, migren, mimpi buruk, sulit tidur, gangguan psikosomatis, dan sering buang air kecil.

f. Dampak Organisasi (Organizational effects)

Ditandai oleh absensi yang tinggi, tingkat turn-over yang tinggi, produktivitas kerja rendah, terasing dari rekan sekerja, menurunnya komitmen dan kesetiaan pada organisasi, serta penurunan kepuasan kerja.

Stres Kerja

2.2.1 Pengertian Stres

Stres adalah respon tubuh yang sifatnya non-spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Misalnya bagaimana respon tubuh seseorang manakala yang bersangkutan mengalami beban pekerjaan yang berlebihan. Seseorang yang sedang mengalami stres dapat terlihat dari perubahan-perubahan fisik, psikologis dan perilaku (behavior changes) (Hawari, 2002).

Menurut Ivancevich and Matteson (2006), Stres adalah suatu respon adaptif, yang dipengaruhi oleh perbedaan individual dan atau proses psikologis, yang merupakan konsekuensi dari aksi eksternal (lingkungan), situasi atau peristiwa yang mengakibatkan ketegangan psikologis dan atau fisik terhadap seseorang. Aksi eksternal, peristiwa dan situasi dikenal sebagai sumber stres.

Sedangkan menurut Robbins (1993), stres merupakan kondisi dinamik yang mana seorang individu dikonfrontasikan dengan suatu peluang, kendala, atau tuntutan yang dikaitkan dengan apa yang sangat diinginkannya dan yang hasilnya dianggap sebagai tidak pasti dan tidak penting.

2.2.2 Stres Kerja

Gibson et al. (dalam Yulianti, 2000:9) mengemukakan bahwa stres kerja dikonseptualisasi dari beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai respon dan stres sebagai stimulus-respon. Stres sebagai stimulus merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada lingkungan. Definisi stimulus memandang stres sebagai suatu kekuatan yang menekan individu untuk memberikan tanggapan terhadap stresor. Pendekatan ini memandang stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu.

Pendekatan stimulus-respon mendefinisikan stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Stres dipandang tidak sekedar sebuah stimulus atau respon, melainkan stres merupakan hasil interaksi unik antara kondisi stimulus lingkungan dan kecenderungan individu untuk memberikan tanggapan.

Definisi stres kerja menurut Ivancevich and Matteson (2006) tidak berbeda jauh dengan definisi stres secara umum yaitu suatu respon adaptif yang merupakan konsekuensi dari tuntutan lingkungan kerja yang mengakibatkan ketegangan psikologis dan atau fisik seseorang.

2.2.3 Moderator

Moderator adalah suatu kondisi, perilaku atau karakteristik yang memenuhi syarat hubungan antar dua variable. Dampaknya mungkin menguatkan atau melemahkan hubungan tersebut. Beberapa faktor yang menentukan apakah individu mengalami stres dalam pekerjaan atau situasi lain, antara lain:

1. Persepsi

Persepsi individu terhadap situasi merupakan faktor yang sering menentukan kekuatan stres. Berat tidaknya situasi yang dirasakan individu dipengaruhi oleh hasil evaluasi individu terhadap situasi dan kemampuan menghadapi situasi yang menimbulkan stres.

2. Pengalaman Lampau

Individu dapat mengalami situasi yang lebih atau kurang menimbulkan stres. Hubungan antara pengalaman dan stres didasarkan atas reinforcement. Latihan atau praktek di masa lalu membuat pekerja lebih tenang dan mengatasi stressor secara kompeten yang pada akhirnya mengurangi stres. Reinforcement atau keberhasilan mengatasu situasi yang sama dapat mengurangi stres yang dialami individu sedangkan kegagalan terhadap kondisi yang sama dapat meningkatkan stres pada saat individu menghadapi suatu situasi.

3. Dukungan Sosial

Kehadiran orang lain mempengaruhi bagaimana individu di tempat kerja mengalami stres dan bereaksi terhadap stres. Kehadiran rekan kerja dapat meningkatkan kepercayaan diri individu, memungkinakan individu untuk melakukan coping secara lebih objektif tehadap stres.

4. Perbedaan Individual

Karakteristik invidu dapat menjelaskan beberapa perbedaan dalam cara pekerja mengalami dan bereaksi terhadap stres.

Resiliensi

Istilah resiliensi berasal dari kata latin resilire yang artinya melambung kembali. Awalnya istilah ini digunakan dalam konteks fisik atau ilmu fisika. Resiliensi berarti kemampuan untuk pulih kembali dari suatu kcadaan, kembali ke bcntuk semula setelah dibengkokkan, ditekan, atau diregangkan. Bila digunakan sebagai istilah psikologi, resi1iensi adalah kemampuan manusia untuk cepat pulih dari perubahan, sakit, kemalangan, atau kesulitan (The Resiliency Center, 2005). 

Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block (dalam Candra, 2009) dengan nam ego-resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan dengan tekanan baik internal mapun eksternal. 

“Personality resources that allows individual to modify their characteristic level and habitual mode of expression of ego-control as the most adaptively encounter, function in and shape their immediate and long term environmental context (Block dalam Chandra, 2009).” 

Resiliensi adalah proses tetap berjuang saat berhadapan dengan kesulitan, masalah, atau penderitaan (Wolin & Wolin, 1993). Menurut Reivich and Shatte (2002) adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. 

Sedangkan menurut Banaag (2002) dalam Chandra (2009) , menyatakan bahwa resiliensi adalah suatu proses interaksi antara faktor individual dengan faktor lingkungan. Faktor individual ini berfungsi menahan perusakan diri sendiri dan melakukan kontruksi diri secara positif, sedangkan faktor lingkungan berfungsi untuk melindungi individu dan “melunakkan” kesulitan hidup individu.

2.1.2 Resiliensi Sebagai Kemampuan Adaptasi

Definisi dari Joseph (dalam Isaacson, 2002) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul dalam kehidupan. 

Rhodes and Brown (dalam Isaacson, 2002) juga menyatakan bahwa individu yang resilien adalah mereka yang mampu memanipulasi dan membentuk lingkungannya, menghadapi tekanan hidup dengan baik, cepat beradaptasi pada situasi baru, mempcrsepsikan apa yang sedang terjadi dengan jelas, fleksibel dalam berperilaku, lebih toleran dalam menghadapi frustasi dan kecemasan, serta meminta bantuan saat mereka membutuhkannya.

Sementara itu, Werner and Smith (dalam Isaacson, 2002) mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas untuk secara efektif menghadapi stres internal berupa kelemahan-kelemahan mereka maupun stres eksternal (misalnya penyakit, kehilangan, atau masalah dengan keluarga). Demikian pula Hetherington dan Blechman (dalam Isaacson, 2002) menyatakan bahwa orang yang resilien menunjukkan kemampuan adaptasi yang lebih dari cukup ketika rnenghadapi kesulitan.

2.1.3 Resiliensi Sebagai Kemampuan Bangkit Kembali Dari Tekanan Atau Masalah



Resiliensi adalah kapasitas seseorang untuk melambung kembali atau pulih dari kekecewaan, hambatan, atau tantangan (Dugall and Coles dalam Isaacson, 2002). Rutter (dalam Isaacson, 2002) juga melihat individu yang resilicn sebagai mereka yang berhasil menghadapi kesulitan, mengatasi stres atau tekanan, dan bangkit dari kekurangan. 

Sementara itu resiliensi didefinisikan oleh Wolin and Wolin (1999) sebagai proses tetap berjuang saat berhadapan dengan kesulitan, masalah, atau penderitaan. Menurut Gallagher and Ramey (dalam Isaacson, 2002), resiliensi adalah kemampuan untuk pulih secara spontan dari hambatan dan mengkompensasi kekurangan atau kelemahan yang ada pada dirinya.

2.1.4 Resiliensi Terlihat Dalam Suatu Keadaan Dimana Pada Hakekatnya Seseorang Memiliki Resiko Besar Untuk Gagal Namun Temyata Ia Tidak (gagal)

Rhodes and Brown (dalam Isaacson, 2002) menyatakan bahwa individu yang resilien adalah mereka yang beresiko memiliki disfungsi psikologis di masa yang akan datang akibat peristiwa hidup yang menekan, tetapi ternyata pada akhirnya mereka tidak memiliki disfungsi tersebut. Contohnya, tidak semua individu yang putus sekolah gagal mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak.

2.1.5 Karakteristik Individu Yang Resilien 

Menurut Wolin and Wolin (1999), ada tujuh karakteristik utama yang dimiliki oleh individu yang rcsilicn. karakteristik-karakteristik inilah yang membuat individu mampu bcradaptasi dcngan baik saat mcnghadapi masalah, mengatasi berbagai hambatan, serta mcngcmbangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Masing-­masing karakteristik ini memiliki bentuk yang berbeda-beda dalam tiap tahap perkembangan (anak, rcmaja, dcwasa). Pada masa anak-anak, karakteristik­-karakteristik ini bclum nampak jclas bcntuknya dan tcrbangun atas dasar intuisi. Pada masa rcmaja, karakteristik-karakteristik ini nampak dalam perilaku yang dilakukan secara sadar dan bertujuan. Sedangkan pada masa dewasa, karakteristik-karakteristik ini semakin luas dan mendalam, menjadi bagian individu.

a. Insight

Insight adalah kemampuan untuk memahami dan memberi arti pada situasi, orang-orang yang ada di sckitar, dan nuansa verbal maupun nonverbal dalam komunikasi (Wolin & Wolin dalam Hurtes & Allen, 2001). Menurut Wolin and Wolin (1999), individu yang memiliki insight mampu menanyakan pertanyaan yang menantang dan menjawabnya dengan jujur. Hal ini membantu mereka untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi (Wolin & Wolin dalam Hurtes & Allen, 2001). Menurut Mayer (dalam Benard, 2004), anak yang memahami dirinya dengan baik juga memiliki kejelasan tentang keadaan emosional mereka dan dapat melakukan regulasi emosi yang adaptif.

Wolin and Wolin (1999) menyatakan bahwa dalam masa kanak-kanak, insight berkembang dalam kemampuan penginderaan (sensing), yaitu adanya intuisi pre-verbal yang mengenali adanya situasi bermasalah di sekitarnya. Insight semakin tajam pada masa remaja dalam bentuk kemampuan mengetahui sesuatu (knowing), yaitu kesadaran akan adanya masalah yang sistematik dapat diartikulasikan dengan baik. Pada masa dewasa, insight menjadi matang dalam bentuk pemahaman (understanding), yaitu adanya empati, pemahaman diri dari orang lain, serta toleransi terhadap kompleksitas dan ambiguitas.

b. Kemandirian

Kemandirian ialah kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang (Wolin & Wolin, 1949). Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang lain. Orang yang mandiri tidak bersikap ambigu dan dapat mengatakan "tidak" dengan tegas saat diperlukan. Ia juga memiliki orientasi yang positif dan optimistik pada masa depan (Wolin & Wolin dalam Hurtes & Allen, 2001).

Menurut Wolin and Wolin (1999), anak yang mandiri ditandai dengan perilaku menjauh dari sumber masalah (straying). Pada masa remaja, anak mengembangkan jarak emosional, memisahkan diri dari situasi bermasalah dan menjaga diri dari kesulitan (disengagement). Kemandirian semakin berkembang pada masa dewasa dimana seseorang dapat mengambil kuasa atas masalah (separating). Menurut Benard (2004), anak yang mandiri ditandai dengan mampu memisahkan diri secara adaptif dari sumber masalah, salah satu bentuknya adalah resistensi yaitu penolakan terhadap pesan-pesan negatif yang disampaikan-orang lain tentang dirinya. Hal ini harus disertai dengan kesadaran diri dan insight agar dirinya dapat berkembang ke arah yang lebih baik.

c. Hubungan

Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, ataupun memiliki role model yang sehat (Wolin & Wolin dalam Hurtes & Allen, 2001). Menurut Wolin dan Wolin (1999), karakteristik ini berkembang pada masa kanak-kanak dalam perilaku kontak (contacting), yaitu mengembangkan ikatan-ikatan kecil dengan orang­ lain yang mau terlibat secara emosional. Remaja mengembangkan hubungan dengan melibatkan diri (recruiting) dengan beberapa orang dewasa dan teman sebaya yang suportif dan penolong. Pada masa dewasa, hubungan menjadi matang dalam bentuk kelekatan (attaching), yaitu ikatan personal yang menguntungkan secara timbal balik dimana ada karakteristik saling memberi dan menerima.

Benard (2004) menyatakan bahwa Ibu yang resilien memiliki kompetensi sosial yang pertama-tama ditandai dengan responsivitas, yaitu kemampuan untuk mendapatkan respon yang positif dari orang lain. Menurut Masten and Coastworth (dalam Benard, 2004), anak-anak ini menarik dan menyenangkan bagi sekitarnya. Wolin and Wolin (dalam Benard, 2004) mengemukakan bahwa anak yang resilien pertama-tama berhubungan dengan atau menarik perhatian orang dewasa yang ada di sekitamya, menjalin pertemanan dengan siapa saja, baik teman sebaya ataupun orang dewasa di sekitarnya, untuk mendapatkan dukungan sosial. Selain itu, Benard (2004) melanjutkan bahwa anak yang resilien juga memiliki kemampuan komunikasi sosial, yang ditandai dengan kemampuan untuk bersikap asertif dan mampu berkomunikasi dengan banyak orang dari berbagai macam kalangan atau tingkatan sosial, usia, dan sebagainya.

Benard (2004) juga menemukan karakteristik empati, kepedulian, belas kasih, dan altruisme dalam diri anak-anak yang resilien.

d. Inisiatif

Menurut Wolin and Wolin (dalam Hurtes & Allen, 2001), inisiatif adalah keinginan kuat untuk bertanggung jawab akan hidup. Individu yang resilien - bersikap proaktif, bukan reaktif, bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat diubah, serta meningkatkan kemampuan mereka untuk menghadapi hal-hal yang tak dapat diubah. Mereka melihat hidup sebagai rangkaian tantangan dimana mereka yang mampu mengatasinya. Benard (2004) menyatakan bahwa anak-anak yang resilien memiliki tujuan yang mengarahkan hidup mereka secara konsisten dan mereka menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh untuk berhasil di sekolah.
Wolin and Wolin (1999) menyatakan bahwa pada anak-anak, inisiatif terlihat dalam bentuk eksplorasi dunianya dan berbagai perilaku trial and error. Hal ini berkembang dalam bentuk kerja, pemecahan masalah, serta berbagai perilaku dan aktivitas yang terarah pada tujuan (working) pada masa remaja. Pada masa dewasa, mereka melakukan produksi dan menciptakan berbagai hal, konsep, ide, rencana; mereka suka melakukan berbagai proyek dan gemar menyelesaikan situasi yang menantang (generating). Benard (2004) menyatakan bahwa inisiatif juga ditunjukkan dengan adanya usaha menarik dan menggunakan sumber-sumber dalam diri serta bantuan dari orang lain untuk mencapai tujuan. 

e. Kreativitas

Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari tiap perilakunya dan membuat keputusan yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan (Wolin & Wolin dalam Hurtes & Allen, 2001). Menurut Benard (2004), anak yang resilien mampu secara kreatif menggunakan apa yang tersedia untuk pemecahan masalah dalam situasi sumber daya yang terbatas. Selain itu, bentuk-bentuk kreativitas juga terlihat dalam minat, kegemaran, kegiatan kreatif dari imajinatif.

Kreativitas sangat berhubungan dengan humor. Menurut Wolin and Wolin (1999), pada masa kanak-kanak serta masa remaja, kreativitas dan humor terwujud dalam bentuk yang sama. Pada anak-anak, kreativitas dan humor terwujud dalam bermain (playing), dimana anak-anak menggunakan imajinasinya untuk membentuk dunia yang sesuai keinginannya. Kemudian pada masa remaja, kreativitas dan humor berkembang dalam kemampuan membentuk (shaping); remaja menggunakan seni dan komedi untuk mengekspresikan perasaan dan pemikiran mereka secara kreatif. Sedangkan, pada masa dewasa, kreativitas dan humor berkembang dalam wujud yang berbeda. Pada masa dewasa kreativitas terwujud dalam aktivitas artistik yang lebih serius dan produkitf (composing), dimana setiap bentuk kreatif diwujudkan dengan penuh pertimbangan.

f. Humor

Menurut Wolin and Wolin (dalam Hurtes & Allen, 2001) humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari kehidupan, menertawakan diri sendiri, dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Seseorang yang resilien menggunakan rasa humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. Rasa humor membuat saat-saat sulit terasa lebih ringan. Sebagaimana telah dijelaskan, Wolin and Wolin (1999) menyatakan bahwa pada masa kanak-kanak dan remaja, humor berkembang dalam wujud yang sama dengan kreativitas. Pada masa dewasa, rasa humor terwujud dalam kemarnpuan untuk melihat hal yang aneh, lucu, atau menyenangkan dalam kesulitan dan penderitaan; kemampuan untuk mengurangi penderitaan dengan sebuah lelucon (laughing).

g. Moralitas

Moralitas atau orientasi pada riilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa takut akan pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri daiam membantu orang yang membutuhkan (Wolin & Wolin dalam Hurtes & Allen, 2001). Menurut Wolin and Wolin (1999), moralitas adalah kemampuan berperilaku atas dasar hati nurani. Anak-anak mengembangkan moralitas dengan penilaian dan pembedaan antara yang baik dan yang jahat, benar-salah, baik-buruk (Judging). Pada masa remaja, moralitas semakin tajam dengan adanya nilai-nilai, prinsip yang mendasari perilaku dan pembuatan keputusan (valuing). Moralitas yang berkembang pada masa dewasa terwujud dalam rasa wajib berkontribusi untuk kesejahteraan orang lain (serving).



Potensi untuk menjadi individu yang resilien ada dalam diri setiap orang. Namun, diperlukan dukungan dari keluarga, sekolah, dan komunitas, agar individu dapat mewujudkan potensi resiliensinya (Benard, 2004). Dalam bagian berikut, akan dibahas berbagai teori dan hasil penelitian yang menunjukkan faktor-faktor apa saja yang berperan membentuk dan mendukung resiliensi dalam diri seseorang. Faktor-faktor, itu sering disebut sebagai faktor protektif.