Kamis, 14 Agustus 2014

Tentara Ikhlas

‎"Jadilah tentara fitrah dan ikhlas, bukan untuk menjadi tentara kepentingan dan ambisi"


Ada sebuah kisah yang saya kutip dari buku (Blessing in Disguise, Dr. Khalid ‘Umar al-Disuqi)

Masalamah ibn ‘Abd al-Malik mengepung beberapa benteng-Romawi yang kokoh. Pengepungan itu sudah berlangsung sekian lama tanpa hasil. ORang-orang Romawi bersantai di dalam rumah mereka di alam terbuka, dari waktu ke waktu dilempari kematian dari segala penjuru.

Dalam pada itu, seorang prajurit diam-diam menyusun rencana membuka benteng seorang diri. Ia mengambil pacul, kemudian setiap hari selama satu jam membuat lubang di sekitar pintu benteng. Begitu seterusnya sampai keinginannya tercapai. Ia pun berhasil masuk ke dalam dan mengelabui penjaga. Dengan keberaniannya yang jarang dimiliki banyak orang, gembok dipukul dan dipecahkan. Setelah pintu terbuka, ia berteriak lantang, “Allahu Akbar…Allahu Akbar… Masuklah, wahai prajurit Allah!”

Akhirnya, Allah mencatat kemenangan bagi umat Islam. Seluruh mujahid bersukacita. Selaku panglima Perang, Maslamah ibn ‘Abd al-Malik mencari Si Penggali Lubang. Di tengah gerombolan pasukan ia berteriak-teriak, tetapi yang dipanggil-panggil tidak kunjung dating. Melihat hal itu, Maslamah dengan tegas meminta Si Penggali Lubang dating ke kemahnya sebagai wujud ketaatan kepada ulil amri. Sore hari, seseorang yang menutupi dirinya dating ke kemah Maslamah. Orang itu berkata, “Aku diutus Si Penggali Lubang. Ia menyatakan sanggup dating menghadap, tetapi dengan syarat:
Pertama, Anda jangan menanyakan namanya.
Kedua, Anda jangan memerintahkan agar diberi imbalan.
Ketiga, Anda jangan mengutusnya bertemu Khalifah.”

Sang Panglima pun menyetujui persyaratan itu. Selanjutnya, orang itu membuka kain penutup dirinya, kemudian berkata, “Akulah si penggali lubang.” Setelah itu, ia kembali ke kamp, karena tidak ingin menerima ucapan terima kasih dari orang. Sebab, ia hanya berharap balasan dari Allah Swt.
Maka, Sang Panglima senantiasa berdoa, “Ya Allah, himpunlah aku bersama Si Penggali Lubang.”

Sahabatku, Imam Hasan Al-Banna berkata,
Yang saya maksud ikhlas adalah bahwa seorang al akh hendaknya mengorientasikan perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya kepada Allah dengan mengharapkan keridhaan-Nya tanpa memerhatikan keuntungan materi, prestise, pangkat, popularitas, dan sebagainya. Dengan itulah ia menjadi tentara aqidah, bukan tentara yang hanya mencari kepentingan duniawi.

“Katakanlah,’Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.’ (QS. Al An’am : 162)
Dengan begitu, seorang al akh telah memahami makna slogan abadinya, (Allah Ghayatuna) Allah tujuan kami dan (Allahu Akbar Walillahilhamd) Allah Mahabesar dan segala puji bagi-Nya.

Sahabatku, jadilah tentara Allah atau seorang Mujahid yang memiliki keikhlasan baik dalam niat maupun dalam perbuatan. Karena sesungguhnya yang akan sampai pada Allah adalah seorang yang mengharapkan keridhaan Allah Swt. dalam mengerjakan amal dan mebersihkannnya dari setiap tipu daya dunia. Ia tidak mencampuradukkan amalnya dengan keinginan-keinginan sesaat untuk memenuhi hawa nafsunya, menginginkan materi, kedudukan, harta, popularitas, ingin terpandang di hadapan manusia, ingin dipuji, lari dari celaan, mengikuti bisikan nafsu, dan masih banyak lagi penyakit hati lainnya yang merupakan aib apabila diketahui orang lain.

“Sesungguhnya diterimanya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya sebagai hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa berhijrah karena dunia yang akan ia peroleh atau wanita yang hendak dinikahinya, maka ia akan mendapati apa yang ia tuju.” (HR.Bukhari dan Muslim)

“Agama adalah keikhlasan. Kami lalu bertanya, “Loyalitas kepada siapa, ya Rasulullah?” Rasulullah Saw menjawab, “Kepada Allah, kepada KitabNya (Al- Qur’an), kepada rasulNya, kepada penguasa muslimin dan kepada rakyat awam.” (HR. Muslim)

Imam al-Ghazali menegaskan, ikhlas adalah shidqun niyyah fil ‘amal, yaitu niat yang benar ketika melaksanakan suatu pekerjaan. Dengan kata lain, setiap amal saleh dan kebajikan yang ingin dilakukan semestinya berorientasi karena Allah. Tanpa keikhlasan, semua amal kebajikan yang dilakukan sangat mudah terkena penyakit hati yang sangat berbahaya, antara lain riya dan bangga hati.

Syadad bin Aus r.a berkata, Kami pada masa Rasulullah saw. Menganggap riya sebagai syirik kecil.” (Majmu’ Zawaaid 1: 225).

Sahabatku, hendaklah seorang yang menjadi tentara Allah terus melakukan kebaikan dimanapun ia berada, oleh siapa, dan kapan saja. Jangan pernah mengharap balasan dari sesama makhluk, melainkan dari Sang Pencipta semata. Dan jangan pernah mengharapkan pula imbalan dari sesama manusia, melainkan dari Allah SWT. Hindari kesukaan menarik perhatian, karena bisa merapuhkan penampakan. Hindari pula kesukaan mengundang takjub dan pujian orang, karena mereka tidak akan selamanya demikian.


“Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih” (QS. Al-Insan: 9).


Sahabatku, seorang tentara yang ikhlas adalah yang selalu berusaha untuk memberikan kebaikan, ia tidak pernah berharap dari seseorang.

Dari Abu Hurairah ra., dia berkata: Rasulullah saw. Bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Maha Baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin apa yang diperintahkan-Nya kepada para utusan-Nya.” (HR. Muslim)

Sahabatku, tentara yang ikhlas tidak mementingkan jabatan, baik sebagai atasan maupun bawahan, yang terpenting bagi mereka adalah professional dalam melakukan pekerjaan dan mendapatkan kesuksesan. Diantara syiar yang mereka pakai adalah sabda Rasulullah saw., “Berbahagialah seorang hamba yang telah menjadikan kudanya untuk berperang di jalan Allah. Rambut dan kakinya penuh debu. Jika ia ditugaskan untuk berjaga, ia siap berjaga. Jika ia ditugaskan dibarisan belakagn, maka ia tetap berjaga di barisan belakang”

Begitpula seorang tentara Allah atau seorang Mujahid tidak menjadi tentara ambisi. Justru memerangi hawa nafsu dan ambisi dirinya.

“Mujahid adalah orang yang berjihad melawan nafsunya di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi dari Fudhalah bin ‘Ubaid).
Seorang penyair berkata,

Nafsuku selalu mengajakku berbuat yang membahayakan diriku,
Memperbanyak penyakit dan memperparah penderitaanku.
Bagaimana aku bisa menyiasati musuh,
Apabila musuhku itu berada di antara tulang-tulang igaku.


Wallahu A’lam, Afwan jika ada kekhilafan…
Senin, 26 Juli 2010 atau 14 Sya’ban 1431 H. Jam 16.26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar