Bismillahirahmanirrahim…
“Many greatman started as newspapers boys,Banyak orang besar awalnya adalah penjual koran,” kata orang bijak
Dalam sebuah buku , dikatakan Kewirausahaan (entrepreneurship) tidak terjadi begitu saja tetapi hasil dari suatu proses yg panjang dan dimulai sejak seseorang masih kecil, ini sesuai dari hasil penelitian yg dilakukan oleh Collin dan Moores (1964) dan Zaleznik (1976) yg mengatakan “The act of entrepreneurship is an act patterned after modes of coping with early childhood experience.”
Tahun-tahun pertama kehidupan akan membuat perbedaan yg berarti dalam periode kehidupan berikutnya.
Kesulitan yg mereka temui (di masa kecil) membuat banyak diantara mereka yg kemudian memiliki suatu misi, mereka ingin membuktikan bahwa dunia salah, mereka ingin menunjukkan kepada setiap orang bahwa mereka dapat menghasilkan sesuatu. Mereka mempunyai keinginan yg kuat untuk membalikkan kesalahan-kesalahan yg dilakukan terhadap mereka pada masa-masa awal kehidupan.
Di sisi yg lain...
Sejak kecil kita selalu dibebani gambaran bahwa menjadi pegawai adalah satu-satunya tujuan yg harus dicapai. Orang tua kita menginginkan agar anaknya bisa menjadi ambtenaar/pegawai. Target yg harus diraih sang anak, jadilah pegawai kantoran saja. Prestise lebih diunggulkan dibandingkan prestasi. Orang cenderung lebih memperhatikan gengsi dibanding kerja keras untuk berprestasi. Yang lebih diutamakan adalah kepentingan status pribadi dan ini semakin lama semakin berkembang negatif.(dikutip dari Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec, Muhammad Saw sebagai Entrepreneur dan Pemimpin Bisnis)
“Gola kalau sudah besar mau jadi apa?”
“Jadi dokter gigi,”jawab gola, seorang bocah berusia lima tahun.*
Sejak kecil kita diajarkan untuk memiliki cita-cita semacam dokter, insinyur, guru, dan pekerjaan formal lainnya, profesi-profesi yg menurut Robert T. Kyosaki, termasuk “self employee”.
Jarang orangtua yg mengajarkan, mengarahkan dan membimbing anaknya untuk menjadi pengusaha. Pemikiran seperti itu bisa dimaklumi dalam masyarakat kita yg mementingkan status dan kedudukan sosial yg mapan di samping peran kultural sebagai sisa-sisa penjajahan yg begitu lama.
Di masa kecil kita sudah terbiasa dihadapkan pada kenyataan hidup yg sebenarnya cukup merugikan pertumbuhan jiwa dan pribadi kita di kemudian hari. Apalagi masyarakat sekarang sudah termasuk golongan masyarakat dengan kehidupan ekonomi atau sosial cukup baik. Pola kehidupannya ternyata kurang menguntungkan pendidikan anak-anak mereka sendiri.
Dari kecil kita sudah diajari pula untuk membatasi diri pada lingkungan hidup tertentu saja. Muncullah pengelompokan-pengelompokan dalam masyarakat yg non-formal sifatnya. Sebagai keturunan orang gedongan, ia tidak diperkenankan sembarangan bergaul. Ia diisolir oleh gambaran-gambaran yg bisa meracuni keyakinan hidupnya di kemudian hari. Konsekuensinya ia akan bisa menutup diri dan hanya bergaul dengan sekelompok masyarakt tertentu saja. Pandangan hidup dan pola berpikirnya akan sempit dan kerdil. Kebiasaan itu dapat mempertebal orientasinya. Ia tumbuh menjadi pribadi yg menitik beratkan gengsi atau status, kalau keluarganya tidak membekalinya dengan prinsip-prinsip hidup yg kokoh.
Bagi keluarga yg berada, segala kebutuhan, keperluan anak selalu tersedia. Pokoknya tugas anak hanya sekolah dan belajar. Pendekatan manusiawi oleh kedua orangtua dalam masa pendidikan banyak terlupakan. (dikutip dari Valentino Dinsi,SE, MM, MBA, Persoalan Dasar Entrepreneurship di Negara Kami Indonesia (Mungkin juga di Negara Anda?), Jangan Mau Seumur Hidup Jadi Orang Gajian #2 )
Mari kita lihat dunia olahraga, Atlet China dan Sepakbola Brasil...
Di dunia ini para atlet sudah dipupuk sejak kecil untuk berbakat.
Dalam sebuah Video pada situs YouTube,tampak dua anak perempuan berkebangsaan China berusia sekitar enam tahun. Tangan kedua anak itu bergelayut memegang sbatang kayu bulat seperti yg biasa kita lihat di ruang-ruang senam. Keduanya tampak menahan sakit, memegang erat kayu yg menggantungkan badannya. Dengan posisi berjajar, mereka bersaing menahan rasa sakit dan tak mau jatuh lebih dulu daripada orang lain. Siapa yg jatuh lebih dulu berarti kalah. Proses itu berlangsung beberapa menit, mungkin 20 atau 30 menit, disaksikan seorang pelatih yg disiplin.
Salah satu diantara keduanya mulai meringis lalu tersungkur ke bawah sambil menangis. Video kemudian beralih pada kumpulan anak laki-laki yg sedang berlatih melenturkan tubuhnya. Seorang anak berusia sekitar tujuh tahun tampak bingung. Tiba-tiba seorang dewasa menendang kakinya. Sang pelatih menahan punggung anak tersebut lalu menarik tangannya ke belakang dengan kasar membentuk sikap kayang. Seakan-akan si pelatih ingin mengatakan: “Cepat, lakukan saja. Begini caranya.” Atau, “Ah, begitu saja sakit , ayo!”
Selanjutnya, seorang anak tengkurap ke lantai mencoba menghubungkan ujung jari tangan dengan jari kakinya. Seorang instruktur berbadan tinggi menyambar anak itu dan menduduki pantatnya, lalu ia menarik kedua tangan anak itu ke belakang.
Melihat hal tersebut...apa yg saudara rasakan...
Ada rasa kasihan, sayang, dan kemanusiaan yg dalam yg membuat saya dan saudara mengurut dada. Tetapi itulah kamp latihan yg membentuk atlet-atlet calon penerima hadiah Olimpiade di China. Mereka berlatih sangat keras sejak kanak-kanak. Tak semua orang secara otomatis akan berhasil tentunya. Tetapi itulah proses yg mereka lewati...
Ada yg berkomentar pada tayangan tersebut, bahwa mereka mendukung dengan latihan seperti itu..anak itu dikirim orang tua mereka untuk mengubah nasib mereka. Mereka telah melewati jalan yg panjang, seleksi berliku-liku, sebelum sampai kesana...tapi ada juga yg tidak sependapat dengan pernyataan tersebut..mereka mengecam latihan seperti itu bahwa hal tersebut bukanlah cara yg baik untuk membentuk masa depan.
Sekarang mari kita ke Brasil...
Di Brasil, anak-anak kampung di kantong-kantong kemiskinan memiliki keterampilan bersepakbola. Mereka bukan hanya meraih keterampilan itu melalui deep-practice di pantai-pantai yg medannya berat, melainkan juga berlatih dengan bola-bola kecil yg lebih berat. Sejak awal abad ke-20 anak-anak muda dan remaja Brasil sudah terbiasa bermain futsal. Dan Saudara Tahu, dalam permainan futsal seseorang akan “menggoreng “ bola lebih lama dibandingkan dalam sepakbola konvensional karena masing-masing tim hanya beranggota lima orang. Akibatnya, mereka terlibat dalam latihan yang lebih intensif. Kalau tak ada bola karet, mereka menggunakan kepala boneka plastik, buah kelapa, kertas yg dipadatkan, bahkan batu-batu dan jeruk lemon. (dikutip dari Prof. Rhenald Kasali Ph.D., Myelin)
Mari kita belajar dari anak kecil...
Ketika saya dan saudara masih kecil, orang dewasa di sekitar kita akan menasehati kita agar menggantungkan cita-cita setinggi langit. Jangan takut untuk bermimpi, langit adalah batasnya. Dan karena langit itu tak terbatas, berarti impian dan cita-cita kita juga tak terbatas. Mungkin banyak dari kita yg bercita-cita menjadi dokter gigi, pilot, bahkan presiden.
Saat kita beranjak dewasa, orang-orang itu akan menasehati kita agar jangan mimpi terlalu tinggi, karena kalau jatuh sakit. Benar-benar nasihat yg bertolak belakang 180 derajat.
Maka jangan heran kalau saudara menemukan bahwa anak kecil adalah makhluk yg unik, paling pemberani di seluruh dunia. Karena dia tidak takut apa pun, dia punya imajinasi yg ‘liar’ karena telah dikondisikan demikian oleh orang dewasa di sekitarnya.
Untuk sukses kita perlu belajar dari anak kecil. Selain tidak takut apa pun, anak kecil juga sangat keras kemauannya. Seorang bayi atau anak akan menangis sedemikian rupa sampai mendapatkan apa yg dia inginkan. Kita bisa belajar dari ‘keuletan’ anak kecil untuk meraih keinginannya. (dikutip dari Bong Chandra, Motivator Termuda No.1 di Asia, Unlimited Wealth)
Teladan Sukses dalam Hidup dan Bisnis...
Muhammad Saw lebih dikenal sebagai seorang Rasul, pemimpin masyarakat atau “negara”, dan pemimpin militer. Padahal, sebagian besar kehidupannya sebelum menjadi utusan Allah SWT adalah seorang Pengusaha.
Muhammad Saw telah merintis karir dagangnya ketika berumur 12 tahun dan memulai usahanya sendiri (menjadi Entrepreneur)ketika berumur 17 tahun. Pekerjaan ini terus dilakukan sampai menjelang beliau menerima wahyu (beliau berusia sekitar 37 tahun). Dengan demikian, Muhammad Saw telah berprofesi sebagai pedagang selama ± 25 tahun ketika beliau menerima wahyu. Angka ini sedikit lebih lama dari masa kerasulan beliau yg berlangsung selama + 23 tahun.
“Seorang yg membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar lantas dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah dirinya maka itu lebih baik dari seorang yg meminta-minta kepada orang-orang yg terkadang diberi dan kadang ditolak.” (Mutafaq’alaih)
“Sesungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hambaNya bersusah payah (lelah) dalam mencari rezeki yg halal.” (HR. Adailami)
Diketik oleh :
Andria Pragholapati
Jum’at, 4 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar